Menggeliat sejak zaman pra-kemerdekaan

Penyebaran bulu tangkis di berbagai daerah
1930

Penyebaran bulu tangkis di berbagai daerah

Geliat klub bulu tangkis di Nusantara (1)
1940
Menggeliat sejak zaman pra-kemerdekaan
1920

Geliat klub bulu tangkis di Nusantara (1)

Geliat klub bulu tangkis di Nusantara (2)
1940
Penyebaran bulu tangkis di berbagai daerah
1930

Geliat klub bulu tangkis di Nusantara (2)

Terorganisir berkat berdirinya PBSI
1950
Geliat klub bulu tangkis di Nusantara (1)
1940

Terorganisir berkat berdirinya PBSI

Piala Thomas 1958, lahirnya Sang Juara
1958
Geliat klub bulu tangkis di Nusantara (2)
1940

Piala Thomas 1958, lahirnya Sang Juara

Torehan tinta emas pasca-Piala Thomas
1959
Terorganisir berkat berdirinya PBSI
1950

Torehan tinta emas pasca-Piala Thomas

Dunia mengabadikan nama Sudirman
1989
Piala Thomas 1958, lahirnya Sang Juara
1958

Dunia mengabadikan nama Sudirman

Memastikan Merah Putih berkibar
1992
Torehan tinta emas pasca-Piala Thomas
1959

Memastikan Merah Putih berkibar

Ikhtiar lima dekade membangun prestise
2000
Dunia mengabadikan nama Sudirman
1989

Ikhtiar lima dekade membangun prestise

Memastikan Merah Putih berkibar
1992

Berikut adalah lanjutan kisah perjalanan klub bulu tangkis di Indonesia sejak zaman pascakemerdekaan yang masih bertahan hingga kini.

Selain di Jakarta dan Jawa Timur, Jawa Barat dan Jawa Tengah juga membukukan catatan sejarah dalam perbulutangkisan Indonesia. Lahirnya pemain-pemain besar, tak lepas dari kehadiran klub-klub yang sebagian masih bertahan hingga kini.

Berikut adalah lanjutan kisah perjalanan klub bulu tangkis di Indonesia sejak zaman pascakemerdekaan yang masih bertahan.

Fanatisme Jawa Barat

Bila di Jawa Timur pusat perkembangan olahraga bulu tangkis bisa dilihat di Suryanaga dan Rajawali, di Jawa Barat episentrumnya ada di dua tempat: PB Kotab dan Blue White (kini menjadi PB Mutiara Bandung). Di dua klub itulah, para pebulu tangkis asal Jawa Barat, banyak mentas di pelatnas, bahkan di tingkat dunia.

Dari Mutiara, nama-nama seperti Tan Joe Hok, Tjun Tjun, Christian Hadinata, Imelda Wiguna, Ivana Lie, Rudi Hariyanto, Atik Djauhari, hingga Emma Ermawati lahir. Sedangkan dari Kotab, muncul nama Iie Sumirat, Nara Sudjana, Ricky Subagja, Riseu Rosalina, dan lain-lain.

"Termasuk, sebenarnya Taufik Hidayat. Dia dulu awalnya kalau main di Kotab, meski klubnya SGS Bandung," ucap Ueng Kohar Djamhari, pengurus PB Kotab kepada Beritagar.id. Kedua klub di Jawa Barat ini, memang punya keunikan.

Mereka kerap mengisi ganda putra pelatnas. Misalnya, Imelda (Mutiara) disandingkan dengan Nara Sudjana (Kotab), Riseu (Kotab) dengan Aryono Miranat (Mutiara), atau Atik dengan Nara Sudjana. Sebagai catatan, sebelum di Mutiara, Atik sempat bermain untuk Kotab. "Jadi, dua klub ini adalah kekuatan Bandung dan Jawa Barat," kata Ueng.

Meski demikian, sejarah berdirinya dua klub tersebut diwarnai dengan kondisi yang begitu kontras. Mutiara lahir terlebih dahulu, yakni pada dekade 1950-an (dengan nama Blue White) yang diprakarsai warga keturunan Tiong Hoa: Lie Tju Kong, Go Tek Goan, dan Oey Goan Soey.

Ketiga orang ini saling berbagi tugas untuk mengatur klub dan melatih pemain. Dari ketiga orang inilah muncul pemain macam Tan Joe Hok, Gan Liang Hay, Tan Kwei Ming, dan lain sebagainya.

"Sekitar 1967, Blue White mengalami masa regenerasi dan akhirnya pada 7 Juli berdirilah secara resmi dengan nama PB Mutiara," ucap Kabidbinpres Mutiara, Umar Djaidi kepada Beritagar.id.

Sedangkan PB Kotab muncul dari inisiatif Parna Sunarya SH (Biro keuangan kotamadya Bandung pertengahan tahun 1960-an) yang menginginkan masyarakat lokal mempunyai kesempatan untuk bermain bulu tangkis.

"Biar tidak ada gap antara pribumi dan non-pribumi, maka dibikin Kotab ini," ucap Ueng. "Ini sama sekali bukan karena ada diskriminasi. Tidak ada. Pak Parna khawatir, para pemain lokal tersisih karena memiliki sifat berbeda," jelasnya.

Menurut Ueng, Kotab lahir pada 1 April 1967. Hanya saja, kala itu, Kotab diisi oleh karyawan Pemda. Pada 1972, saat diadakan Pekan Seni dan Olahraga Jawa Barat, Kotab menjadi klub murni dengan merekrut pemain dari luar, seperti Ueng, Iie, dan Nara.

Sayangnya, sama seperti klub bulu tangkis lain di Indonesia, nasib dua klub asal Jawa Barat ini tak begitu baik. Mutiara mungkin lebih baik. Setelah hampir redup karena masalah keuangan, klub itu lama-lama kembali stabil dengan dukungan sejumlah pihak. Terakhir, mereka mendapat sokongan dari perusahaan tekstil bernama Cardinal. Maka, saat ini nama klub pun memiliki embel-embel, Mutiara Cardinal.

Nasib tak mujur dialami Kotab. Klub ini seperti sedang sekarat dan tengah mengalami kondisi krisis. Masalahnya adalah, kepemilikan yang tak jelas. Pasalnya, mereka masuk dalam Badan Pekan Olahraga dan Kesenian Pemda Jawa Barat.

Di satu sisi, mereka berada di bawah naungan Pemda Bandung, Jawa Barat. Di sisi lain, mereka tak mendapat dukungan penuh dari Pemda. Ueng mengatakan, anggaran Kotab berasal dari iuran anggota dan sewa lapangan di GOR Lodaya, Bandung, Jawa Barat.

Satu hal yang pasti, Jawa Barat terkenal dengan fanatisme-nya. Hal itu diakui pula oleh Yacob Rusdianto, tokoh bulu tangkis asal Jawa Timur. Alasannya, di tiap daerah, terdapat klub bulu tangkis yang mampu menghasilkan pemain hebat. Misalnya, di klub Tunas Tasikmalaya, melahirkan seorang Susi Susanti.

Barometer baru di tanah Jawa

Solo, Salatiga, Semarang, dan Tegal. Begitulah peta percaturan bulu tangkis di daerah Jawa Tengah di awal-awal kemerdekaan Indonesia. "Dulu yang terkuat itu Solo," ucap Hastomo Arbi kepada Beritagar.id. Namun, lambat laun itu semua berubah.

Tepatnya, kala dekade memasuki 1970, tepatnya 1969. Adalah PB Djarum Kudus yang mengubah konstelasi tersebut. Sebagian orang, menyebut kelahiran klub yang pertama kali bermarkas di daerah Bitingan Lama, Kudus, Jawa Tengah itu, fenomenal. Setidaknya, hal itu diucapkan salah satu pelaku sejarah bulu tangkis di Indonesia, Umar Djaidi.

Menurut pria yang kini menjadi Kabidbinpres klub Mutiara Cardinal Bandung itu, keberadaan PB Djarum saat itu menjadi barometer baru di tanah Jawa. "Jangan lupa, tahun 1969 itu, kemunculan PB Djarum fenomenal," katanya.

Ada dua orang yang berperan besar terhadap hal itu. Mereka adalah Hastomo dan Liem Swie King; keduanya masuk ke PB Djarum sekitar 1970-an. "Saat itu, hanya kami berdua saja yang anak-anak. Yang lain, karyawan (Djarum) semua," ucap Hastomo.

Hastomo menceritakan bagaimana perjuangan para pemain "generasi pertama" itu. Latihan dimulai sekira pukul 16.00. Diawali dengan berlari di lokasi untuk menjemur tembakau, cengkeh, dan saus. Hastomo mengistilahkan pepean, atau tempat menjemur barang.

Setelah adzan Magrib, mereka baru berlatih teknik di lokasi tempat melinting rokok. Hawanya? Tak perlu ditanya. "Dulu, saat latihan, baunya sangat menyengat. Kalau tidak biasa, orang pasti akan langsung pusing pas main," ucap Hastomo.

"Sehabis bermain, kami mengembalikan lagi alat-alat pabrik ke tempat semula." Kondisi itu harus mereka lakoni hingga 1973. Sembari latihan, mereka mengikuti berbagai kejuaraan, yang sedikit jumlahnya. Seperti Garuda Cup atau Munadi Cup.

"Munadi Cup itu kalau tidak salah pada 1972, dan King yang juara," kata Hastomo. Kedua bocah tadi menjelma menjadi pemain tangguh dan ditarik ke Jakarta untuk menjalani pelatnas sekitar tahun 1973.

Dari sini lah, kiprah pemain Djarum merambah keluar negeri; King dan Hastomo menjadi lokomotif PB Djarum. King, menjadi salah satu pemain yang kerap menjadi andalan Indonesia di Piala Thomas.

Setelah 1973, lambat laun, PB Djarum menjadi magnet para pebulu tangkis tanah air. Tempat latihan di Bitingan Lama pun semakin tak representatif--jumlah lapangan yang sedikit hingga tak ada mess menjadi penyebabnya.

Maka, sekitar 1982, tempat latihan PB Djarum pun pindah ke Kaliputu. "Di sini mulai ada lapangan permanen. Dulu, di daerah Bitingan Lama, itu kan tempat latihannya menyatu dengan tempat pegawai bekerja," ucap Eddy Prayitno.

Eddy, yang sempat menjadi pemain Rajawali Surabaya mengatakan, kelebihan pemain Djarum adalah stamina. Menurutnya, para pemain PB Djarum terkenal dengan stamina yang oke. Salah satu orang yang berperan untuk hal ini adalah, Budi Hartono, pemilik klub sekaligus pendiri perusahaan Djarum.

Hastomo menjadi salah satu pemain yang pernah merasakan dilatih oleh Budi. Kini, PB Djarum tak lagi menghuni GOR Kaliputu. Sekarang mereka menempa para pemainnya di GOR Jati, Kudus. Perpindahan markas ini tak lepas dari prakarsa Victor Hartono yang ingin lebih memajukan bulu tangkis Indonesia.

PB Djarum mungkin menjadi klub yang cukup beruntung karena didukung oleh perusahaan Djarum. Namun, tidak demikian dengan klub lain di Jawa Tengah, seperti PB Abadi Solo. Pemain yang sempat menelurkan pemain hebat seperti Icuk Sugiarto, kini sudah tak terdengar lagi keberadaannya.